Hari ke-1
Malam ini aku benar-benar tidak tenang. Tubuhku lelah sekali, tapi kepalaku berisik. Untungnya kucingku juga berisik, jadi suara di kepalaku sedikitnya bisa teredam oleh suara si Butek.
Jadi, setelah merayu Tuhanku sejak 3 pagi hingga dini hari, aku memutuskan untuk melihat langit. Melihat langit entah mengapa selalu menenangkan, membiarkan diriku melihat dunia dari perspektif kosmik, membuat isi kepalaku rasanya kecil sekali.
Bulan ada di fase waning crescent 1% malam ini dan langit lagi cloudy. Tidak terlihat bulan atau bintang, bahkan si bintang fajar aka Venus tidak tampak. Tapi tidak apa, langit tak selalu biru atau berbintang kan?
Sobat tengah malamku yang sempat menghilang seminggu ((alhamdulillah)) sudah balik. Seperti biasa, kita diskusi kehidupan yang selalu tidak adil, sampai kabar Haruki Murakami yang mau rilis buku November nanti. Bagaimanapun, itu ikut andil menghilangkan berisik di kepalaku.
Angin sama sekali tidak berhembus. Pagi yang datar. Kemudian aku memejamkan mata kurang lebih 10 menit sambil mendengar sayup bapak-bapak mengaji dari toa masjid juga ayam yang mulai berkokok. Mencoba mengosongkan kepalaku sekosong-kosongnya.
Suara-suara di kepalaku perlahan menghilang, seiring dengan gelap yang sirna. Aku kembali ke kesadaranku lagi.
Burung-burung berkicau dan terbang di sekeliling seolah menyapa. Mengingatkan kembali jika riak kehidupan yang kujalani ini adalah bagian dari skenario besar kosmos. Aku hanya perlu menjalani sebaik-baiknya sampai waktu memanggilku pulang. Mengingat itu, perasaanku sedikit lebih ringan.
Hari ke-2
Semalaman aku terus-terusan memikirkan blackhole. Benda misterius yang memakan apa saja ke dalamnya menjadi singularitas sekaligus menjadi pusat galaksi.
Semua benda di galaksi mengelilingi pusatnya, yakni blackhole. Lalu kepalaku bergeming, apa semua hal di alam semesta bergerak teratur sedemikian rupa mengelilingi pusatnya?
Otakku menggumam lagi, apa blackhole itu juga bisa membentuk semesta paralel? Yang tersusun dari setiap gerak alam semesta, bahkan dalam nano detik terkecil.
Aku mendiskusikan ini, lagi-lagi bersama sobat tengah malamku, si korban dry text ((sama seperti aku)). Katanya dia percaya dunia paralel dan percaya jika waktu itu berjalan sirkular, bukan linear.
Kalau memang itu benar, berarti ledakan bigbang itu sifatnya repetitif sampai tidak terhingga.
Kalau memang itu benar, berarti ada alam semesta dimana kehidupan tidak ada sama sekali.
Kalau memang itu benar, mungkin nasib aku dan temanku akan sedikit mujur, tidak menjadi korban dry text.
Tapi lagi-lagi, kita harus menjalani kehidupan di semesta ini, dimana waktu bersifat kejam dan menuntut kita tegar.
Kata temanku, eksistensi setiap materi yang tidak terbatas itu membuat dunia paralel jadi paradoks.
Menjalani sebaik-baiknya peran kita di semesta ini dengan pattern sirkular yang sudah ditentukan adalah pilihan satu-satunya, dan tidak ada jalan lain selain ‘dijalani’.
Lalu, konsep semesta paralel cuma bisa aku bayangkan dalam perjalanan menuju alam mimpi.
Membayangkan ide dunia paralel dan blackhole, aku jadi lupa kalau aku adalah korban dry text.
Hari ke-3
Malam ini cuma ada 4 bintang yang terlihat (sirius, canopus, rigel, dan procyon). Sirius, tentu saja jadi paling terang di langit malam.
Setitik paling terang di langit malam itu sebetulnya bintang ganda (sirius a dan sirius b) yang saling mengorbit satu sama lain dalam waktu 50 tahun.
Umur bintang sirius diperkirakan 200-300 juta tahun, masih jauh lebih muda dibanding matahari yang sudah berumur 4,6 miliar tahun.
Cahaya sirius akan meningkat dalam 60ribu tahun lagi, lalu akan memudar setelahnya. Tapi, sirius tetap jadi bintang paling terang di langit malam setidaknya sampai 200 juta tahun lagi.
Dalam perspektif kosmik, waktu ratusan juta tahun itu teramat singkat, mengingatkan kembali jika waktu manusia di bumi ini sangat sangat sangat singkat di perspektif kosmik.
Tapi, di waktu singkat, sayangnya, manusia malah menorehkan banyak kerusakan terhadap bumi. Sebut saja: deforestasi, polusi udara dan air, perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca, serta degradasi tanah.
Ah, lagi-lagi kegiatan melihat langit ini membuat pikiranku memikirkan terlalu banyak hal. Tanpa ku sadari sekarang langit sudah berawan dan bintang-bintang sudah tidak kelihatan lagi.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tentu saja menikmati usia singkat kita di bumi dan hidup dengan baik. Bertahan sampai waktunya jasad fana ku bertransformasi jadi energi.
Hari ke-4
Sehabis masak sahur, aku teringat jika bentangan Milky Way akan tampak saat dini hari. Jadi, aku memutuskan naik ke atas genteng untuk memastikannya ((mengabaikan fakta jika aku hidup di kota besar dengan polusi cahaya maksimal)).
Benar saja, bentangan Milky Way sama sekali tak kelihatan. Tak satupun bintang kelihatan, cuma ada awan hitam. Sepertinya dalam beberapa waktu ke depan akan hujan. Aku bisa merasakan titik air jatuh perlahan, belum banyak sih.
Waktu belum genap menunjuk ke jam 4, tapi ayam sudah berlomba-lomba untuk berkokok dari segala penjuru. Aneh, pikirku. Mungkin ayam diutus oleh Yang Maha Kuasa jadi agen tukang bangun sahur.
Alam semesta ini dipenuhi dengan tanda-tanda dan simbol yang menyiratkan pesan, seperti teori semiotika. Kita cuma butuh analisis mendalam untuk mengetahui tentang bagaimana makna dikonstruksi dalam konteks berbagai bentuk komunikasi. Analisis mendalam akan membuka jalan untuk interpretasi lebih jauh terhadap dunia di sekitar kita.
Sejak pertama kali belajar tentang teori semiotika, aku selalu dibuat terpana. Tanda sekecil apapun bisa merepresentasikan sesuatu. Bahkan, dengan sengaja terkadang iklan komersil menyiratkan tanda itu agar terpatri di otak konsumen. Keren bukan? Bagaimana hanya sebuah simbol saja bisa mempengaruhi kehendak orang jika dijalankan secara repetitif.
Tiba-tiba saja, titik air langit makin banyak jumlahnya, yang cukup membuat bajuku kebasahan. Padahal aku sudah melihat tandanya, tapi aku abai yang mengakibatkan aku susah sendiri.
Dengan menganalisis simbol, harusnya aku lebih waspada. Rupanya belajar semiotika bukannya buat aku makin peka, tapi seolah semakin buta. Atau aku saja yang denial, pura-pura tidak melihat, padahal tandanya sudah jelas sekali sejak pertama.
Seperti tanda red flag yang ku lihat dari awal, namun aku malah memilih trabas saja, akhirnya susah sendiri. Banyak peringatan, tapi aku seolah tuli dan buta. Kenapa tuh kira-kira?
Aku juga tidak mau hidup begini terus.
Segera setelah aku merebahkan diri di kasurku, aku memikirkan misiku tahun ini: Hidup dengan sebaik-baiknya.
Hari ke-5
Entah hanya perasaanku yang sedang kelam, tapi aku merasa malam ini lebih dingin dari biasanya. Padahal ac sudah ku matikan, tapi tetap saja dingin mengetuk tulang.
Aku masih bergelut dengan kepala yang berisik. Bodohnya, aku ((dengan sengaja)) melewatkan jadwal ke psikolog haha. Rasanya, ada dinding tebal yang menahanku untuk bergerak leluasa. Berapa kali aku mencoba, tapi dinding itu menghalangi terus.
Suara-suara itu diperparah dengan sosial media yang membuatku makin overthinking, aku jadi membandingkan diriku dengan orang lain. Tidak enak sekali seperti ini.
Keadaan ini rupanya berefek ke pekerjaanku yang udah beberapa hari terabaikan. Setiap mulai mengetik, suara itu tak bisa hilang dan aku malah jadi tidak bisa mengerjakan apa-apa.
Rasanya, aku butuh seseorang untuk bersandar, menangis dan menumpahkan semuanya. Tapi susah sekali untuk benar-benar membahasakan apa yang aku rasakan, pun, ku rasa tidak ada orang yang benar-benar mengerti.
Sekarang aku sedang menggulung diriku dengan selimut, menenangkan diriku sendiri, mencoba memberi sugesti positif.
“Ayo hidup dengan baik, bertahan sebentar lagi, ayo berjuang lagi,” kataku berkali-kali ke diri sendiri.
Di dunia ini, aku adalah bagian dari manusia yang individual. Entitas yang dianggap dapat berpikir, merasa, dan bertindak secara independen, membedakan dirinya dari individu lainnya.
Secara personal, aku memainkan peran unik dalam kontribusi dan interaksi terhadap lingkungan. Untuk itu, aku perlu hidup dengan baik. Setidaknya, aku sedang mencoba keras untuk itu.
Mari kita sudahi malam ini dengan harapan esok dunia akan membaik, jadi lebih mudah untukku hidup dengan baik.
Hari ke-6
Terkadang, aku amaze sama kemampuan otak sendiri. Bagaimana kejadian yang sudah berlangsung berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ke belakang tiba-tiba saja bisa aku rasakan setiap inci detailnya detik ini.
Karena memori tidak baik sering menyergap otakku belakangan, aku tergerak buat baca jurnal tentang psikologi kognitif. Katanya, manusia mampu untuk menyimpan dan menimbulkan kembali sesuatu yang pernah dialami.
Menurut Sigmund Freud, lupa itu mekanisme pertahanan manusia untuk mengarahkan hasrat dan dorongannya kepada sebanyak mungkin kesenangan dan sesedikit mungkin rasa sakit.
Namun, rupanya rasa sakit itu tidak benar-benar hilang dari otak, hanya ditundukan ke alam bawah sadar.
Freud mengibaratkan alam sadar dan tak sadar seperti gunung es. Alam sadar hanya terihat sebagian kecil, dan alam tak sadar luar biasa besar.
Bagian alam bawah sadar kerap naik turun terkena permukaan air. Dengan memahami itu, aku jadi memahami kondisi di kepalaku.
Unconsciously, terkadang aku teringat rasa sakit itu sampai menangis sesegukan. Aku ingat betul sampai itu benar-benar terasa nyata.
Belakangan temanku bilang gini:
“Memori tuh emang paradoks, semakin coba dilupain malah semakin terpatri. So, perhaps itu di luar kendali kita. Tapi ada satu yang masih dalam kendali kita, yaitu cara kita menanggapi memori itu,” katanya.
Aku kemudian memikirkan cara terbaik untuk menanggapi memori itu, dengan memeluknya secara utuh, hingga itu tak berasa sakit lagi.
Aku ingat-ingat apa yang bikin aku bahagia saat ini.
Memikirkan LANY dan Supepeng adalah hal yang bikin aku bahagia akhir-akhir ini. Jadi kalau aku sedih, aku lihat lagi e-ticket konser LANY, membayangkan nanti aku melihat Paul Klein in person, orang yang ada di wallpaper aku.
Memang minim sekali hal yang bikin aku bahagia sekarang-sekarang. Tapi, aku mau menjadikan hal-hal kecil itu alasan aku bertahan. Alasan aku terus berusaha menjalani hidup sebaik-baiknya. Sampai nanti aku benar-benar harus dijemput pulang.
Hari ke-7
Hari ini aku banyak tidur. Karena banyak tidur, aku banyak bermimpi. Mulai dari yang jelas sampai yang tidak jelas.
Tapi, aku suka sekali berada di sana. Aku ingin menjelajah terus ke dunia mimpi lagi dan lagi. Mungkin itu kenapa aku suka tidur, karena mimpi lebih menarik daripada kehidupan nyata. Aku bisa dimana saja, melihat apa saja.
Menurut Sigmund Freud, mimpi merupakan manifestasi dari sebuah keinginan dari dalam diri kita yang belum terwujud. Barangkali, itu menjelaskan kenapa aku bisa dengan jelas mengunjungi tempat yang sama sekali belum pernah aku datangi.
Mimpi juga visualisasi dari memori, kenangan dan emosi yang digambarkan oleh otak kita. Mantap sekali ya kerja hippocampus (bagian otak yang terlibat saat kita bermimpi, adanya di lobus temporal otak besar).
Hal yang aku suka lagi dari mimpi adalah logika, penalaran, atau penilaian, aturan normal ruang dan waktu tidak berlaku. Maka dari itu, kita bisa ada di Bandung, lalu sedetik kemudian tiba-tiba ada di Pantai Brazil. Mengasyikan bukan?
Setiap orang pasti bermimpi 4-6 kali setiap tidur. Namun, jika tidak berkesan, mimpi itu menguap seiring dengan orang itu bangun.
Sayang sekali ya, banyak mimpi seru yang menguap begitu saja.
Tapi, mimpi itu cuma bunga tidur. Sesuatu yang memang begitu saja harus menguap dan dilupakan.
Segera aku sadar jika ini lah kehidupan nyata. Di sini lah aku sekarang. Menghadapi realita yang harus ku jalani dan harus lapang ku terima.
Ruang dan waktu yang ku jalani ini kejam, dan tak bisa ku atur seperti mimpi. Tapi ini lah kehidupan yang harus aku jalani sebaik-baiknya.
Dalam upaya menjalani hidup yang baik, rasanya usahaku stagnan saja. Tapi, aku masih mau mencoba.
Jadi, selama waktu berjalan, aku mencoba tidak gentar menggerakan kakiku ke depan. Melangkah dengan sebaik-baiknya, menjalani hidup sebaik-baiknya.
Komentar
Posting Komentar