Langsung ke konten utama

Kereta Takdir

Kereta takdir menjemput aku yang terserang lelah akut.

Tiba-tiba aku ada di penghujung tahun. Aku harus menutup segera apa yang disebut rutinitas. Aku harus rehat untuk memulai kembali. Mungkin semesta ingin aku rebah sejenak. Tak tahu dibawa kemana oleh Sang Masinis. Aku tak ingin membakar harap, aku takut terbakar.

Aku sudah pernah tertatih menempuh garis hidup, meregang pada kerasnya terpaan badai, hampir usai tertelan gelap. Tapi lagi-lagi aku mencapai titik terangku sendiri sembari menopang tubuhku sendiri.

Aku belum renta, aku masih lah sebuah kuncup yang hampir mekar. Tapi di pundakku diletakkan banyak harapan orang-orang yang menopangku selama ini. Aku harus bisa menopang mereka kelak, karena aku adalah tumpuan harap mereka.

Aku tak tahu harus mempersiapkan gelak tawa atau tangis di depan. Karena di masa perehatan ini semuanya serba kelabu, semuanya serba misterius. Jadi aku menanti saja, sambil menikmati bekal bekas kemarin.

Aku baru terbentur sedikit pun belum penuh terbentuk. Mungkin di masa yang akan datang, jika aku diizinkan melihatnya, aku musti terbentur keras.

Di kereta takdir ini, sebenarnya banyak aroma intensi menyeruak, tapi aku lebih memilih menghirup parfumku yang berona lelah. Aku masih mencerna sembari merenungi dulu kisah-kisah yang baru saja ataupun telah lampau ku alami. 

Kereta takdir melaju lamban, aku pasrah ditawan waktu. Kereta takdir membawaku ke aroma rindu, aroma yang aku hindari karena tak ingin didekap pilu terlalu lama. 

Lalu aku terpaksa menghirup rindu itu, rindu yang menyiratkan pilu, pilu yang mendatangkan hujan di langit kelabu.

Benakku berserakan di segala penjuru kereta ini. Aku kelimpungan sendiri memperbaiki diri. Segala memori temu dan pisah terputar bagai kaset film.

Aku lalu bertanya lagi pada diriku. Diriku yang dulu melempar sumpah serapah pada rutinitas yang menjenuhkan ini. Diriku yang ingin sekali membuang jauh hari-hari ketika aku harus bersentuhan dengan segala macam kesatuan dari rutinitas. Bukankah ini yang aku inginkan dulu? 

Memberhentikan rutinitas ternyata sama saja seperti menghilangkan seperdelapan bagian jantungmu. Ada seperdelapan degup yang tertinggal di tempat yang kemarin ku jajaki.

Kepada semesta, mari bekerja sama. Aku ingin terbentuk lagi dan lagi

Kepada si waktu, semoga kamu membawakanku madu

-Di Kereta takdir menuju perjalanan menuju stasiun entah


Si Pemimpi yang lelah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

After the days full of storm

The storm has raged for many days, battering us with its relentless winds and waves. But now, let us pause—take a moment to rest and thank God for seeing us through. We’re still here, still standing strong, still holding on. The storm could not tear us apart, and for that, I am deeply grateful. I thank God for everything—for the chance to walk this ferocious road together, hand in hand. Our ship still sails, though battered, refusing to sink.     Compromise—this is what we’ve learned and continue to learn. It’s not easy, but we try, recognizing that we are only human, prone to mistakes and imperfections. We’ve seen each other’s flaws, yet we choose to stay, to keep learning and growing together.   It’s through compromise, honest communication, and keeping a cool head that we’ve found ways to rethink our own inclinations. We’ve carried scars, both old and new, but we’re committed to healing them. Healing is not a destination but a journey, and as we walk this path, we...

Rangkuman Isi Kepala 7 Hari: Menuju Hidup Sebaik-Baiknya

Hari ke-1 Malam ini aku benar-benar tidak tenang. Tubuhku lelah sekali, tapi kepalaku berisik. Untungnya kucingku juga berisik, jadi suara di kepalaku sedikitnya bisa teredam oleh suara si Butek. Jadi, setelah merayu Tuhanku sejak 3 pagi hingga dini hari, aku memutuskan untuk melihat langit. Melihat langit entah mengapa selalu menenangkan, membiarkan diriku melihat dunia dari perspektif kosmik, membuat isi kepalaku rasanya kecil sekali. Bulan ada di fase waning crescent 1% malam ini dan langit lagi cloudy. Tidak terlihat bulan atau bintang, bahkan si bintang fajar aka Venus tidak tampak. Tapi tidak apa, langit tak selalu biru atau berbintang kan? Sobat tengah malamku yang sempat menghilang seminggu ((alhamdulillah)) sudah balik. Seperti biasa, kita diskusi kehidupan yang selalu tidak adil, sampai kabar Haruki Murakami yang mau rilis buku November nanti. Bagaimanapun, itu ikut andil menghilangkan berisik di kepalaku.  Angin sama sekali tidak berhembus. Pagi yang datar. Kemudian aku ...

Supernova

  Million bulbs in the void, bursts into a piece as its light disperse, like a supernova, we dwell in the fading light, fight against gravity and grow red, restart, become blue with fury, sedated by dark, concourse into the blackhole, turning it into a singularity, succumbing to the demise, reconciled with eternity. We were once scintilation, before we collapse into one, so what are we now? -vic