Sebuah tanya keras sekali memeking di selusur kepala. Lalu kemudian aku cuma bisa tersentak, memikirkan dalam-dalam jawaban dari tanya yang bergema. Ku amati dengan seksama pantulan diriku di cermin, perasaan rendah berkecamuk segera. Belum terlalu renta, namun tak jua cukup muda.
“Kamu bisa apa?”
Kali ini gemanya cukup keras. Cukup membuat sekujur tubuh lemas. Jawaban itu ada di antah berantah. Pantulan diriku terlihat tak terkendali. Kacau dan berantakan sekali. Apa ini potret diri tanpa filter dan riasan? Di sana sini penuh bekas borok. Sebagian bahkan belum sepenuhnya kering.
“Kamu bisa apa?”
Gema suara itu laksana halilintar di tengah malam. Meraung di rapuhnya jiwa. Kini aku jadi muak sendiri melihat rupa diriku di cermin. Ku pejamkan mataku, menolak untuk melihat sosok yang ada di hadapanku. Tapi kupikir ini lah pantulan diriku yang sejujur-jujurnya. Tak satupun orang tahu. Lambat laun ku buka mataku lagi. Meski setengah bergidik, aku harus bisa menerima diri sendiri bukan? Ini lah aku.
“Kamu bisa apa?”
Kali ini aku lebih berani ketika suara itu datang lagi. Lagipula aku sudah menemukan jawabnya.
“Aku tak berdaya, tak bisa apa-apa,” jawabku dengan lantang. Pasrah, ku biarkan diriku dikuliti sampai habis.
“Aku kalah,” pungkasku sambil menyerah.
-vic
Komentar
Posting Komentar