Langsung ke konten utama

Postingan

Embracing the Complexity: My Take on Haruki Murakami, Art, and Criticism

Since I've noticed a lot of Murakami haters popping up on social media lately, and many people seem to be jumping on the bandwagon of hating him without even reading his books, as a fan of Murakami, here’s my take on my favorite author. Some say, “Haruki Murakami might be the type of author you either love or hate—there’s no in between,” and I happen to be someone who really loves Haruki Murakami’s work ((obviously)). Despite all the criticism and hate that portrays him as misogynist or sexist, personally, reading Murakami has opened my perspective on the complexity of the human mind and emotions. I’ve always admired how Murakami conveys complex feelings, but with simple language. I also appreciate the depth of character development in his works, even if some people find it long-winded. But I enjoy that. I really do love his writing style! I also love Murakami’s unusual, surreal imagination. I think his writing offers a lot of insights into various issues. Plus, I’ve discovered man
Postingan terbaru

Oct, 9 (Edisi ga jadi nonton LANY)

Today was meant to be my happiest day of the year. I woke this morning with a weight in my chest, as if a part of me was slipping away—a part that held me upright. But today, it longs to drift with the breeze of fate, leaving me fragile. I lingered in bed, unmoving for what felt like ages, as I struggled to grasp a surrender that seemed so hard to reach. And so, I remained there, suspended between what was and what is yet to come, waiting for peace to find me. October has always been my time to let go—to embrace the purity of my deepest sincerity, to acknowledge that as a fragile soul, I can only plan. To accept, as a finite being, that not all desires align with reality. To release; to surrender. Such is life. A part of us departs, only to be replaced by another. I realized that perhaps happiness doesn't always come as expected. It slips through in quiet moments of acceptance, in the soft release of what no longer serves us. As one part of me fades with the wind, another is ready

Scribo Ergo Sum

Untuk menghalau semua kegilaan dan perasaan ingin menyakiti diri sendiri, maka dari itu aku menulis. Scribo Ergo Sum. Aku menulis, maka aku ada. (i) Pagi yang cukup tenang, namun rupanya di dalam sangat gempar. Segala terpaan sana-sini mendadak mengacau-balaukan kepingan kewarasan yang susah payah aku kumpulkan kemarin. Sumber gempa sangat dekat sekali. Aku ingin menghindar tapi berkali ditarik medan magnet luar biasa. Katanya hakikat manusia itu bebas. Dari sini, aku mencoba mendefinisikan ulang esensi kebebasan. Dengan tangan yang diborgol, kaki satu yang diikat, tak akan ku biarkan mereka membelenggu pikiranku. Ah, tapi demikian, secepat kilat ambisiku dicurinya. Sial. (ii) Aku lelah dengan tekanan terus menerus ke pusat jantung. Rasanya batinku sakit tak karuan. Mereka tidak bisa mengerti rasanya. Kemana lagi aku harus mengadu? Kemudian datang terang, lebih cepat dari woosh! Aku bergerak tak menentu. Sejak awal aku tak tahu ke mana langkah kakiku akan melaju. Semua dalam diriku ter

Please, Please, Please

  Gusar sehabis gempa belum juga mereda, sudah tertimpa tangga lagi. Seluruhku sudah hampir habis digerogoti musim, tidak tahu akan beregenerasi cepat atau lambat. Hanya mampu berjalan terseok lemah pada bentangan rute yang sudah dituliskan, pelan dan tak pasti.  Aku sudah lama berkorban, tapi mungkin pengorbananku belum dianggap purna. Karena rupa keikhlasan sejati belum utuh kupahami. Nyatanya berat sekali membagi tanpa tapi, aku masih harus remedial lagi. Percaya pada sesuatu yang abstrak dan tanpa rupa itu sulit sekali. Aku harus menghapus mindset transaksional bagi-membagi. Memangkas semua ambisi dan egoisme diri. Meluaskan lagi definisi ‘cukup’ dan ‘berbesar hati’. Meski nyaris runtuh, tapi pundakku tak boleh menyentuh tanah; setidaknya itu yang harus ku perlihatkan pada mata-mata yang menaruh harap. Tapi sekali ini saja, izinkan aku meloloskan air mata yang tak terbendung sejadi-jadinya dalam hening tengah hari. Kiranya semesta memaklumi.  -vic

Old Well

The rain evokes a distant memory of the depth of an old well, where pitter-patter raindrops suggest secrets buried within. The image of the old well fades into a faint shadow that I try to tightly close, yet the gaping wound refuses to be silenced, leaving half of me feeling trapped and waiting to wither there. Like a lingering ghost haunting the corners of my consciousness. Half of my being feels tethered to that old well, waiting in anticipation for release while the other half struggles to move forward, weighed down by the burden of unresolved emotions. For now, I remain suspended in this liminal space, caught between the allure of nostalgia and the promise of a brighter future, unsure of which path to take. -vic

Si Renta

  Tiba-tiba saja pagi datang menjemput gelap yang memudar saru Waktu pesat melaju, selalu begitu sedari dulu Tak peduli tubuh sedang gontai, ditinggalnya saja berlalu Merayap pada harap di antah berantah Pergolakan batin pun merekah merah Perang yang tak kunjung purna Karam hati belum terbina Matahari makin tinggi menyibak nanar Takut makin deras merebak gusar Aku tak ingin dipecundangi takdir Ingin terbebas dari nadir Malang, renta masih berlama-lama betah Pasrah, sepanjang hari ku mengesah -Vic

Kamu Bisa Apa?

  Sebuah tanya keras sekali memeking di selusur kepala. Lalu kemudian aku cuma bisa tersentak, memikirkan dalam-dalam jawaban dari tanya yang bergema. Ku amati dengan seksama pantulan diriku di cermin, perasaan rendah berkecamuk segera. Belum terlalu renta, namun tak jua cukup muda.  “Kamu bisa apa?” Kali ini gemanya cukup keras. Cukup membuat sekujur tubuh lemas. Jawaban itu ada di antah berantah. Pantulan diriku terlihat tak terkendali. Kacau dan berantakan sekali. Apa ini potret diri tanpa filter dan riasan? Di sana sini penuh bekas borok. Sebagian bahkan belum sepenuhnya kering.  “Kamu bisa apa?” Gema suara itu laksana halilintar di tengah malam. Meraung di rapuhnya jiwa. Kini aku jadi muak sendiri melihat rupa diriku di cermin. Ku pejamkan mataku, menolak untuk melihat sosok yang ada di hadapanku. Tapi kupikir ini lah pantulan diriku yang sejujur-jujurnya. Tak satupun orang tahu. Lambat laun ku buka mataku lagi. Meski setengah bergidik, aku harus bisa menerima diri sendiri bukan?