Dalam teori Spiral of Silence yang dikemukakan Elisabeth Noelle-Neumann, diam bukanlah kondisi netral. Diam adalah hasil dari rasa takut—takut dikucilkan, takut diserang, takut dianggap berlebihan atau politis. Ketika opini tertentu terus-menerus didengungkan sebagai “normal”, “aman”, dan “baik-baik saja”, sementara opini kritis ditekan atau dipatahkan, maka yang terjadi bukan konsensus, melainkan ilusi persetujuan publik.
Inilah yang terjadi dalam isu banjir Sumatera.
Narasi pemerintah yang menyebut situasi “terkendali” dan “masih bisa ditangani” berulang kali disuarakan melalui kanal resmi dan media arus utama. Dalam kerangka Spiral of Silence, pengulangan ini membentuk iklim opini dominan—seolah-olah semua orang sepakat bahwa banjir ini bukan masalah serius. Akibatnya, masyarakat yang mengalami penderitaan langsung, atau netizen yang melihat kejanggalan struktural di balik bencana tersebut, mulai ragu untuk bersuara. Mereka takut dianggap membesar-besarkan, menunggangi isu, atau bahkan anti-pemerintah.
Di sinilah urgensi untuk berisik menjadi krusial.
Menurut teori Spiral of Silence, satu-satunya cara mematahkan dominasi opini mayoritas semu adalah dengan kehadiran suara keras, konsisten, dan terlihat. Ketika netizen—terutama influencer dengan jangkauan luas—terus menyuarakan realitas banjir, menampilkan bukti visual, kesaksian korban, serta mempertanyakan akar masalahnya, mereka sedang menciptakan iklim opini alternatif. Suara yang awalnya dianggap minoritas perlahan berubah menjadi sesuatu yang “aman untuk diucapkan”.
Berisik, dalam konteks ini, bukan sekadar ekspresi emosi, tetapi tindakan politis dan komunikatif untuk mencegah pembungkaman sistemik. Ketika influencer berbicara, mereka bukan hanya menyampaikan opini pribadi, melainkan memberi sinyal sosial kepada publik bahwa: “Kamu tidak sendirian. Aman untuk peduli. Aman untuk marah.”
Lebih jauh, Spiral of Silence menegaskan bahwa opini publik tidak selalu mencerminkan kebenaran objektif, melainkan persepsi tentang opini mayoritas. Maka, jika rakyat terus diam, kebohongan yang diulang akan tampak seperti kebenaran. Sebaliknya, jika rakyat terus berisik, kebohongan akan kehilangan ruang untuk bersembunyi.
Oleh karena itu, kita harus berisik soal banjir Sumatera bukan karena ingin melawan pemerintah semata, tetapi karena diam hanya akan memperpanjang spiral kebungkaman. Dalam teori ini, diam berarti ikut menjaga status quo, sementara berisik adalah upaya memulihkan keseimbangan wacana. Bukan untuk menang debat, melainkan untuk memastikan penderitaan tidak disapu ke bawah karpet narasi “baik-baik saja”.
Dalam konteks bencana, diam bukanlah netralitas. Diam adalah keberpihakan—kepada yang paling kuat suaranya.
Komentar
Posting Komentar